Selasa, 26 Juli 2011

PENGELOLAAN LAHAN SAWAH

I. PENDAHULUAN


Latar Belakang

Kebutuhan bahan pangan terutama beras akan terus meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi perkapita akibat peningkatan pendapatan. Namun dilain pihak upaya peningkatan produksi beras saat ini terganjal oleh berbagai kendala, seperti konversi lahan sawah subur yang masih terus berjalan, penyimpangan iklim (anomaly iklim), gejala kelelahan teknologi (technology fatique), penurunan kualitas sumberdaya lahan (soil sickness) yang berdampak terhadap penurunan dan atau pelandaian produktivitas.
Sistem produksi padi saat ini juga sangat rentan terhadap penyimpangan iklim (El-nino). Penanganan masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks dan juga tidak efisien.
Guna memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat perlu diupayakan untuk mencari terobosan teknologi budidaya yang mampu memberikan nilai tambah dan meningkatkan efisiensi usaha. Optimasi produktivitas padi di lahan sawah merupakan salah satu peluang peningkatan produksi gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini masih beragam antar lokasi dan belum optimal.
Tanah sawah merupakan tanah yang sangat penting di Indonesia karena merupakan sumber daya alam yang utama dalam produksi beras. Saat ini keberadaan tanah-tanah sawah subur beririgasi terancam oleh gencarnya pembangunan kawasan industri dan perluasan kota (perumahan) sehingga luas tanah sawah semakin berkurang, karena dikonservasikan untuk nonpertanian. Sebagai gambaran, menurut Biro Pusat Statistik/BPS (1994) luas lahan sawah Indonesia pada tahun 1993 sekitar 8,50 juta ha, sedangkan pada tahun 2000 luasnya menjadi sekitar 7,79 juta ha (BPS, 2001). Sebagian besar lahan sawah terdapat di Pulau Jawa, yaitu seluas 3,34 juta ha (42,9% dari luas sawah Indonesia). Pencetakan sawah di luar Pulau Jawa umumnya dilakukan pada tanah-tanah yang kurang subur dan hingga saat ini belum menunjukan keberhasilan yang nyata.
Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk menanam padi sawah, baik secara terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija (Hardjowigeno dan Luthfi, 2005). Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum, seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan sebagainya. Menurut Kyuma (2004), tanah sawah (paddy soil) adalah tanah yang digunakan atau berpotensi digunakan untuk menanam padi sawah. Dalam definisi ini tanah sawah mencakup semua tanah yang terdapat dalam zona iklim dengan rezim temperatur yang sesuai untuk menanam padi paling tidak sebanyak satu kali dalam satu tahun.
Tanah sebagai faktor tumbuh yang penting harus mendapat perhatian khusus dalam budidaya tanaman. Tanah menyediakan faktor tumbuh, yang mana kondisi optimum dinyatakan subur dan kemampuan tanah tersebut dinyatakan sebagai kesuburan tanah. Kondisi tanah yang perlu diperhatikan dalam pertumbuhan tanaman ini adalah suhu, udara, air tanah maupun unsur hara yang terdapat dalam tanah. Tanah sebagai salah satu faktor tumbuh membutuhkan penanganan khusus agar tidak terjadi hambatan-hambatan bagi pertumbuhan tanaman, sehingga perlu dilakukan pengelolaan tanah yang baik.
Tindakan pengolahan tanah merupakan usaha mekanis terhadap tanah yang dilakukan untuk menyediakan tempat tumbuh yang sesuai bagi perakaran tanaman. Pengolahan tanah juga ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian (seed bed), pemberantasan gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar, memperbaiki infiltrasi air dan udara tanah. Dalam suatu usaha pertanian, baik usaha pertanian umum maupun khusus, pemilihan mengenai sistem pengelolaan sangat penting untuk mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanah Sawah

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus, sepanjang tahun, maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian, dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Selain itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Karena itu tidak mengherankan bila sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya.
Secara garis besar, tanah sawah di Indonesia dapat dibedakan menjadi (1) tanah sawah berasal dari lahan kering, (2) tanah sawah berasal dari rawa-rawa.
1. Tanah sawah berasal dari lahan kering
Tanah sawah yang berasal dari lahan kering terdapat di daerah datar hingga berbukit, bahkan kadang-kadang bergunung yang kemudian diteraskan dan diairi melalui air irigasi. Tanah sawah jenis ini ditemukan di daerah dataran rendah dan punggung, lereng, atau kaki vulkan serta daerah nonvulkanik yang cukup air sebagai sumber irigasi. Sifat tanah sawah yang berasal dari lahan kering umumnya mengalami perubahan yang sangat nyata dari sifat tanah asalnya dan profil tanah sawah tipikal mungkin terbentuk. Akan tetapi untuk tanah dengan air tanah dangkal atau tanah yang mempunyai sifat mengembang dan mengerut sulit membentuk profil tanah yang tipikal (Soepraptohardjo dan Suharjo, 1978).
2. Tanah sawah berasal dari tanah rawa
Tanah sawah dari tanah rawa dapat juga berasal dari (a) lahan rawa-rawa daerah pelembahan dan rawa-rawa lebak, atau (b) lahan rawa-rawa pasang surut.
a. Rawa pelembahan dan lebak
Lahan rawa pelembahan dan lebak yang disawahkan terdapat di daerah yang hampir datar atau cekung dengan drainase jelek dan air permukaan tanah yang dangkal serta tergenang atau kebanjiran selama periode tertentu dalam satu tahun. Sifat tanah sawah yang terbentuk umumnya tidak terlalu banyak berubah dari sifat tanah asalnya (Soepraptohardjo dan Suharjo, 1978).
b. Rawa pasang-surut
Daerah pasang-surut disekitar sungai besar umumnya mempunyai potensi yang tinggi untuk padi sawah. Jenis tanah yang ditemukan di daerah pasang-surut umumnya terdiri atas mineral yang sering memiliki potensi sulfat masam, demikian juga dengan tanah gambut. Profil tanah yang terbentuk tidak terlalu berbeda dengan profil tanah asalnya.

B. Morfologi Tanah Sawah

Sebelum tanah digunakan sebagai sawah, secara alami tanah tersebut mengalami pembentukan sesuai dengan faktor-faktor pembentuknya sehingga muncul jenis tanah tertentu. Pada tanah yang disawahkan dengan penggenangan air, maka pembentukan tanah alami yang sedang berjalan akan terhenti. Dan terjadi proses pembentukan tanah baru ketika air genangan di permukaan tanah dan metode pengolahan tanah yang diterapkan menjadi peran penting. Penggunanaan tanah kering untuk padi sawah dapat menyebabkan perubahan sifat morfologi dan sifat fisika-kimia tanah secara permanen, sehingga dapat menyebabkan perubahan klasifikasi tanah (Sarwono Hardjowigeno dkk, 2008). Sedangkan pada tanah sawah yang berasal dari lahan basah, maka perubahan-perubahan tersebut tidak terlalu jelas (Hardjowigeno dan M. Luthfi, 2005).
1. Perubahan sementara
Perubahan sementara adalah perubahan-perubahan sifat fisik, morfologi, dan kimia tanah sebagai akibat penggenangan tanah musiman baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi sawah. Perubahan-perubahan tersebut terjadi di permukaan tanah dan hanya bersifat sementara karena setelah penyawahan selesai dan diganti dengan tanaman palawija atau diberakan, terjadi perubahan kembali sifat-sifat tanah akibat pengeringan tanah.
a. Perubahan sifat fisik tanah
Terdapat beberapa proses pengolahan tanah yang menyebabkan perubahan fisik tanah, yaitu :
1)Pelumpuran
Perubahan sifat fisik tanah yang mula-mula terjadi pada tanah sawah merupakan akibat pelumpuran (puddling). Tujuan dari pelumpuran adalah menghancurkan agregat tanah menjadi lumpur yang sangat lunak. Pelumpuran secara keseluruhan menyebabkan sifat tanah menjadi :
a)Semua agregat (struktur) tanah hancur sehingga tanah tidak berstruktur.
b)Pori-pori kasar berkurang sedangkan pori-pori halus (mikro) meningkat.
c)Daya menahan air meningkat karena meningkatnya pori-pori mikro.
d)Tanah menjadi sangat lunak karena lumpur baru mengendap.
e)Dalam keadaan lumpur tersebut, tanah dapat mempertahankan keadaan reduksi lebih lama.
f)Partikel-partikel halus dalam lumpur tersebut dapat bergerak kebawah bersama air perkolasi dan mengendap di bawah lapisan olah sehingga membantu pembentukan lapisan tapak bajak.
Proses reduksi terjadi setelah pelumpuran karena tidak adanya udara. Tanah sawah yang dilumpurkan tetap dalam keadaan tereduksi, tidak peduli apakah tanah tersebut digenangi ataupun tidak, sampai mulai terjadi retakan-retakan. Saat tanah digenangi, persedian oksigen menurun sampai mencapai nol dalam waktu kurang dari sehari (Sanchez, 1993). Menurut Prasetyo dkk (2009), mikroba aerob dengan cepat menghabiskan udara yang tersisa dan menjadi tidak aktif lagi atau mati. Kemudian mikroba fakultatif anaerob dan obligat aerob mengambil alih dekomposisi bahan organik tanah dengan menggunakan komponen tanah teroksida (seperti : nitrat, Mn, Fe-Oksida dan sulfat).
2)Selama pertumbuhan tanaman
Setelah pengolahan tanah dengan cara pelumpuran selesai, maka dimulailah penanaman padi. Akibat yang terjadi pada tanah karena makin tergenang oleh air, antara lain adalah :
a)Partikel-partikel tanah mulai mengendap.
b)Terdapat lapisan tipis diatas lapisan pasir, karena pengendapan lapisan pasir yang diikuti oleh debu dan liat.
c)Kadar air tanah berkurang akibat dari pengendapan partikel tanah dan makin berkurang akibat penyerapan air oleh akar tanaman.
d)Daya kohesi partikel-partikel tanah meningkat, sehingga tanah menjadi padat.
3)Setelah penggenangan selesai
Setelah penggenangan selesai, maka mulai terjadi proses pengeringan tanah yang berjalan lambat. Perlakuan pelumpuran dapat mempertahankan tanah dalam keadaan reduksi lebih lama. Bila pengeringan berlanjut, maka tanah akan berubah menjadi pasta yang kemudian tanah akan retak-retak dan akibatnya adalah tanah mengami aregasi kembali.
b.Perubahan sifat fisiko kimia tanah
Perubahan sementara sifat fisiko kimia tanah dapat terjadi di permukaan tanah yang mengalami penggenangan secara berkala akibat tanah disawahkan. Perubah sementara tersebut dianggap penting untuk mempelajari perubahan sifat kimia jangka panjang. Jika tanah digenangi, maka difusi gas ke dalam massa tanah terputus sehingga organisme aerobik akan menghabiskan oksigen yang ada di permukaan tanah dengan cepat. Dekomposisi bahan organik secara aerobik yang cepat pada tanah dengan tata udara baik, diambil alih oleh bakteri fakultatif atau obligat anaerobik tersebut yang relatif lambat.
Oksigen dapat habis dalam waktu sehari penggenangan. Setelah itu nitrat akan hilang karena reduksi menjadi gas N2 dan NO2 (denitrifikasi). Amonium-N dapat juga hilang setelah terlebih dahulu berdifusi ke lapisan atas dan mengalami nitrifikasi menjadi nitrat di lapisan atas tanah tipis yang oksidatif tersebut. Nitrat yang terbentuk bergerak ke lapisan bawah yang reduktif melalui proses difusi dan aliran massa, kemudian mengalami denitrifikasi menjadi gas N2 dan NO2.
Setelah nitrat habis, maka konsentrasi Mn2+ dan Fe2+ dalam larutan tanah meningkat sampai ketitik puncak tertentu dalam minggu-minggu pertama penggenangan yang kemudian menurun ke suatu nilai yang kurang lebih konstan. Bila lapisan yang melumpur tersebut retak-retak akibat dari pengeringan lebih lanjut, maka aerasi keseluruh bagian tanah menjadi lebih cepat. Aerasi menyebabkan proses oksidasi Fe2+ yang tidak aktif menjadi lambat. Perubahan reduksi dan oksidasi yang berulang-ulang dapat menyebabkan senyawa besi ferro pada lapisan olah tetap tidak teroksidasi selama tanah dalam keadaan kering (diberakan) (Mitsuchi, 1974).
c.Perubahan sifat morfologi tanah
Perubah sifat fisiko kimia tanah yang terus berlangsung tersebut dicerminkan juga oleh perubahan sifat morfologi tanah, terutama lapisan permukaan. Dalam keadaan tergenang tanah menjadi berwarna abu-abu akibat reduksi besi menjadi besi ferro. Akan tetapi warna reduksi tersebut tidak terjadi pada tanah pasir atau tanah lain dengan permeabilitas tinggi, kecuali pada penggenangan yang sangat lama. Apabila tanah dikeringkan, akan terjadi oksidasi lagi terhadap besi ferro menjadi ferri sehingga terbentuk karatan cokelat pada retakan-retakan, bekas akar atau tempat lain dimana udara dapat masuk.
2.Perubahan permanen
Perubahan permanen terjadi akibat efek kumulatif perubahan sementara karena penggenangan tanah musiman atau praktik pengelolaan tanah sawah seperti pembuatan teras, perataan tanah, pembuatan pematang, dan lain-lain. Perubahan permanen pada tanah sawah yang disawahkan dapat dilihat pada sifat morfologi profil tanahnya yang seringkali menjadi berbeda dengan profil tanah asalnya yang tidak disawahkan (Sarwono Hardjowigeno dkk, 2008).
Perubahan-perubahan permanen profil tanah, dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
a.Cara pembuatan atau pencetakan sawah misalnya dengan perataan dan penerasan serta pembuatan pematang.
b.Perubahan sifat fisik tanah karena praktik budidaya tanaman padi sawah yang dilakukan dengan penggenangan, baik pada waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan tanaman.
c.Perubahan yang kompleks dalam sifat-sifat kimia dan mineralogi tanah menjadi bagian dari proses pembentukan tanah.

C. Pengelolaan Tanah

Pengelolaan tanah merupakan upaya untuk menjaga atau memelihara lapisan tanah atas (top soil layer) yang tebalnya tidak lebih dari satu jengkal tangan (±35 cm) agar tetap dalam keadaan baik serta tidak terangkut ke lain tempat (Kartasapoetra, 1987). Sedangkan menurut Arsyad (1989), pengelolaan tanah meliputi kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, konservasi tanah, pengolahan tanah dan pemupukan, dan dimulai di lapangan dengan pembukaan lahan, semak atau rumput-rumput lain.
Pengelolaan tanah sawah adalah segala pekerjaan pengolahan tanah, praktik penanaman, pemakaian pupuk dan kapur pada tanah yang dibatasi oleh pematang dan diairi dengan pengairan secara teknis ataupun tadah hujan (Tim Penyusun Kamus PS, 2008). Dalam melakukan tahap-tahap pengelolaan tanah sawah, perlu dipehatikan :
1. Penyusunan rencana penggunaan tanah
Dalam setiap usaha penyiapan dan penggunaan tanah, maka perlu diketahui tujuan akhir dari penggunaan lahan tersebut. Tujuan penggunaan lahan kemudian hari tidak lepas dari pengelolaan tanah. Setelah keadaan lahan yang akan dibuka diketahui, maka dapat dilakukan perencanaan tata ruang dan tata letak lahan. Menurut Arsyad (1989), ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum perencanaan tata ruang dan tata lahan dilakukan, yaitu :
a. Memilih dengan seksama jenis usaha dan area lahan usaha tani.
b. Memilih dengan seksama lahan usaha tani yang drainasenya lebih baik.
c. Mengkaji dan menimbang produktivitas setempat.
d. Meneliti apakah tanah sesuai dengan jenis usaha tani yang akan dijalankan.
e. Kepastian akan tersedianya air untuk pengairan.
f. Penelitian kembali tentang kondisi iklim.
2. Perencanaan pembukaan lahan sawah
Untuk mengimbangi konversi lahan pertanian menjadi sektor nonpertanian, perlu dilakukan intensifikasi dan pemacuan teknologi yang dihasilkan dengan areal pertanian yang tetap serta ekstensifikasi dengan cara pembukaan lahan sawah baru. Sehingga diharapkan dapat mencukupi kebutuhan pokok seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan alih fungsi lahan. Dalam pembukaan lahan sawah baru, perlu diperhatikan (Sofyan, dkk, 2009) :
a. Potensi lahan basah
Tanah-tanah yang termasuk pada lahan basah adalah sebagian besar ordo histosol terutama yang belum direklamasi, dan semua tanah mineral yang tergenang atau berdrainase buruk yang dicirikan oleh warna kelabu atau bersifat aquik.
b. Kesesuaian lahan
Lahan-lahan yang termasuk dalam lahan basah dikelompokan lebih lanjut dan dievaluasi kesesuaian lahannya untuk persawahan, dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti karakteristik lahan (fisiografi, topografi, bahan induk dan tanah), ketinggian tempat (dataran rendah < 700 m dpl dan dataran tinggi ≥ 700 m dpl), serta iklim pada daerah tersebut.
3. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang ditujukan untuk menyiapkan tempat persemaian (seed bed), memberantas gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar, infiltrasi air dan pengedaran udara (aerasi), dan menyiapkan tanah untuk irigasi permukaan.
Pelaksanaan pengolahan tanah pada prinsipnya adalah tindakan pembalikan, pemotongan, penghancuran dan perataan tanah. Tanah yang semula padat diubah menjadi remah dan gembur, sehingga sesuai bagi perkecambahan benih dan perkembangan akar tanaman. Bagi lahan basah (sawah) sasaran yang ingin dicapai adalah lumpur yang halus, yang sesuai bagi perkecambahan benih dan perkembangan akar tanaman. Pada pengolahan tanah sawah, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan. Pematang (galengan) sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman. Tanah sawah diolah dalam keadaan jenuh air, dengan cara “bajak-garu-bajak-garu” sampai halus, hingga menyebabkan struktur tanah menjadi hancur dan cocok bagi tanaman padi. Penggenangan sedalam 5 cm sampai 10 cm dalam jangka waktu 4 bulan sanpai 5 bulan menyebabkan terjadinya kondisi reduksi dalam waktu tersebut. Oleh karena itu apabila tanah sawah dikeringkan untuk ditanami palawija, maka tanah harus diolah kembali.
4. Pemupukan
Tujuan dari pemupukan adalah meningkatkan pertumbuhan dan mutu hasil tanaman. Pemupukan diberikan pada saat tanaman menunjukan sejumlah kebutuhan unsur hara agar diperoleh keefisienan yang maksimal. Dalam rangka melestarikan kesuburan tanah (kimiawi, fisik, dan hayati) dan mencegah pencemaran air tanah, maka sistem pemupukan hayati perlu ditingkatkan dan dikembangkan karena efeknya yang ramah lingkungan. Pendekatan dengan input lokal (pupuk kandang, pupuk hijau, pupuk kompos, dan lain-lain) dan input luar yang ramah lingkungan misalnya pemanfaatan bakteri Rhizobium (pada kacang-kacangan), Cendawan Micoriza (pada padi) dan pupuk organik cair.
5. Pengawetan tanah dan air
Suatu fase terpenting dalam usaha tani adalah pencegahan erosi dan penggunaan air seefisien mungkin. Pada tanah sawah masalah erosi biasanya tidak menjadi problem, erosi terutama terjadi pada lahan kering (Suswono, 1977). Pada lahan sawah biasanya dibuat tanggul dengan tujuan untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan (run-off) dan pengawetan air hujan. Sehingga pengikisan dan penghanyutan tanah menjadi minim dan bahkan dapat tercegah. Jadi tujuan dari pengawetan tanah, adalah 1) Mencegah kerusakan tanah dari erosi, 2) Memperbaiki tanah-tanah yang rusak, dan 3) Memeliharan dan memperbaiki kerusakan tanah (Kartasapoetra, 1989).
Menurut Kartasapoetra (1989), usaha pengawetan tanah dan air dalam tanah, harus menjangkau beberapa prinsip, yaitu :
a) Mengusahakan agar kapasitas infiltrasi air dalam tanah tetap besar, dengan demikian jumlah aliran permukaan dapat diturunkan (diredusir).
b) Mengusahakan agar kecepatan aliran permukaan (run-off) dapat dikurangi. Dengan demikian daya kikis atau daya gesek terhadap permukaan tanah dapat diperkecil.
c) Mengusahakan agar resistensi atau daya tahan tanah terhadap daya tumbuk penghancuran agregat-agregat tanah oleh butir-butir air hujan tetap ada. Dengan demikian partikel tanah yang terhanyut dapat diperkecil.
d) Mengusahakan bagian-bagian tanah tertentu dapat menjadi penghambat atau penahan terhadap partikel-partikel tanah yang terangkut oleh aliran air permukaan. Dengan demikian akan terjadi pengendapan yang tidak jauh dari tempat terjadinya pengikisan.
Teknik pengawetan tanah dan air yang biasa dilakukan adalah dengan cara vegetative dan cara mekanik.
a. Cara vegetative
Pengendalian pengikisan dan penghanyutan tanah dengan mengunakan metode vegetative, didasarkan pada peranan tanaman atau vegetative yang ditanam dan atau tumbuh dan benrkembang pada tanah tersebut, terutama kemampuannya dalam mengurangi daya pengikisan dan penghanyutan oleh aliran air permukaan (Kartasapoetra, 1989). Cara vegetative sendiri meliputi :
a) Penutupan dengan rumput.
b) Penanaman berlajur.
c) Pergiliran tanam.
d) Pengelolaan sisa tanaman.
b. Cara mekanik
Menurut Kartasapoetra (1987), metode mekanik merupakan metode konservasi dengan jalan memanipulasi sifat-sifat tanah sehingga dapat mengurangi erosi yang terjadi. Cara mekanik dapat meliputi :
a) Pembuatan teras.
b) Pengolahan tanah menurut kontur.
c) Pembuatan galengan-galengan atau rorak-rorak.
d) Pembuatan saluran drainase, pembuatan dam-dam penghambat dan tanggul.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. ITB, Bandung.
BPS. 1994. Statistik Indonesia. Jakarta : Blai Pusat Statistik.

BPS. 2001. Statistik Indonesia. Jakarta : Blai Pusat Statistik.

Hardjowigeno Sarwono dkk. 2008. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/.../buku/tanahsawah/tanahsawah1 diakses 29 Mei 2010.

Hardjowigeno dan M. Luthfi. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia Publishing, Malang

Kartasapoetra, A.G.1987. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Rineka Cipta, Jakarta.

Kartasapoetra, A.G. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha Untuk Merehabilitasinya. Bina Aksara, Jakarta.

Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science, 280pp. Kyoto University Press. Trans Pacific Press.

Mitsuchi, M. 1975. Permebility Series of Lowland Paddy Soil in Japan. Jpn. Agric. Sci. B.

Prasetyo Bambang. H, dkk. 2009. Mineralogi, Kimia, Fisika, dan Biologi Tanah Sawah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/...berita-terbaru&Itemid=58. Diakses 25 Juli 2010.

Sanchez. P. A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB, Bandung.

Sofyan Ritung, dkk. 2009. Peluang Perluasan Tanah Sawah. http://balittanah.litbang.deptan.go.id/...berita-terbaru&Itemid=58. Diakses 25 Juli 2010.

Soepraptohardjo, M. and H. Suhardjo. 1978. Rice Soil in Indonesia. In : Soil and Rice, p. 99-114. Los Banos, Laguna, Philipines : The International Rice Research Institute.
Suswojo. 1977. Pengelolaan Tanah I. Fakultas Pertanian UNSOED, purwokerto.

Tim Penyusun Kamus PS. 2008. Kamus Pertanian Umum. Penebar Swadaya. Anggota Ikapi. Wisma Hijau, Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar